Sindrom terowongan kubital atau Cubital Tunnel Syndrome (CuTS) merupakan salah satu gangguan penekanan saraf perifer yang cukup sering terjadi, khususnya pada saraf ulnaris di sekitar siku.
Kondisi ini dapat berkembang secara perlahan namun progresif, menyebabkan gangguan sensorik hingga kelemahan otot pada area distribusi saraf tersebut. Jika tidak ditangani sejak dini, sindrom ini dapat memengaruhi kemampuan tangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Saraf ulnaris melewati struktur sempit yang dikenal sebagai terowongan kubital. Terowongan ini dibentuk oleh tiga bagian utama, yaitu epikondilus medialis, olekranon, dan ligamen Osborne. Tekanan atau tarikan berlebih pada area ini dapat mengganggu aliran saraf akibat cedera mekanis maupun penurunan suplai darah.
Sendi siku yang bersifat dinamis menambah risiko terjadinya gangguan. Saat siku ditekuk, volume terowongan kubital dapat berkurang hingga sekitar 55%, sehingga meningkatkan tekanan pada saraf. Faktor lain seperti adanya kista ganglion, kelainan otot tambahan (misalnya anconeus epitrochlearis), deformitas pasca trauma, maupun pertumbuhan tulang berlebih juga dapat memperparah kondisi ini.
Gangguan awal biasanya berupa kerusakan selubung mielin saraf (demyelinisasi) yang jika terus dibiarkan dapat berlanjut menjadi kerusakan akson, hingga menimbulkan kelemahan otot yang bersifat permanen.
Tanda-tanda sindrom terowongan kubital cukup khas. Penderita sering merasakan kesemutan dan mati rasa pada jari manis serta kelingking. Keluhan ini biasanya muncul saat siku ditekuk dalam waktu lama atau ketika terkena tekanan. Rasa nyeri di sisi dalam siku juga kerap dilaporkan.
Pada tahap lanjut, penderita bisa mengalami kelemahan otot di tangan, kesulitan melakukan gerakan halus, hingga tampak atrofi atau pengecilan otot pada area tangan tertentu. Gejala sering berkembang secara perlahan, dimulai dari gangguan sensorik sebelum akhirnya merambah ke fungsi motorik.
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan tanda khas, seperti hasil positif pada uji Tinel (rasa kesemutan ketika siku diketuk ringan) atau timbulnya gejala saat dilakukan tes fleksi siku. Pada kasus berat, perubahan bentuk otot intrinsik tangan dapat terlihat jelas.
Menetapkan diagnosis CuTS memerlukan kombinasi antara wawancara medis, pemeriksaan fisik, serta tes penunjang. Studi elektrofisiologi seperti pemeriksaan kecepatan hantaran saraf (NCV) sangat penting. Jika kecepatan hantaran saraf di area siku turun di bawah 50 m/s, maka indikasi kuat terhadap sindrom ini muncul.
Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi resolusi tinggi maupun magnetic resonance neurography (MRN) dapat memperlihatkan pembengkakan saraf, perubahan struktur jaringan, atau pergeseran posisi saraf. Pencitraan juga membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain, seperti radikulopati leher atau kelainan struktural yang berbeda.
Tes provokatif seperti uji fleksi siku yang dipertahankan atau perkusi Tinel semakin memperkuat hasil diagnosis bila dikombinasikan dengan temuan dari pemeriksaan elektrofisiologi.
Penanganan sindrom terowongan kubital sangat bergantung pada tingkat keparahan dan lamanya gejala. Pada tahap awal atau kasus ringan, terapi konservatif biasanya cukup efektif. Pendekatan ini meliputi modifikasi aktivitas sehari-hari untuk menghindari posisi siku yang menambah tekanan, penggunaan bidai saat tidur agar siku tidak terlalu menekuk, serta latihan nerve gliding untuk menjaga pergerakan saraf. Obat antiinflamasi juga dapat membantu mengurangi keluhan.
Namun, bila gejala tidak membaik, semakin memburuk, atau sudah ada kelemahan otot dan atrofi, maka tindakan bedah menjadi pilihan. Operasi yang paling umum dilakukan adalah dekompresi sederhana in situ, yang terbukti memberikan hasil baik dengan risiko komplikasi rendah. Alternatif lain adalah transposisi saraf ke depan atau pengangkatan sebagian tulang epikondilus medial, tergantung kondisi anatomi pasien.
Dalam beberapa tahun terakhir, teknik operasi minimal invasif dan endoskopik semakin dikembangkan. Pendekatan ini menawarkan pemulihan lebih cepat, rasa sakit pasca operasi yang lebih ringan, serta bekas luka yang lebih kecil.
Seorang ahli bedah tangan, Dr. John M. Felder, menekankan bahwa sindrom terowongan kubital sering kali sulit dikenali pada tahap awal. Padahal, diagnosis dan intervensi cepat dapat mencegah kerusakan permanen pada saraf serta mempertahankan fungsi tangan.
Sindrom ini sejatinya bukan hanya masalah sederhana pada siku, melainkan gangguan kompleks yang bisa berdampak besar pada kualitas hidup seseorang. Dengan adanya kemajuan teknologi pencitraan, pemeriksaan elektrofisiologi yang lebih akurat, serta inovasi teknik operasi, kini peluang pemulihan semakin tinggi.
Namun, kunci keberhasilan tetap terletak pada kepekaan klinisi dalam mengenali tanda awal serta kedisiplinan pasien dalam menjalani terapi konservatif. Penelitian terus berkembang, memberikan harapan bahwa di masa depan, pendekatan yang lebih efektif dan minim risiko akan semakin mudah diakses.