Hyperacusis adalah gangguan pendengaran langka yang membuat seseorang memiliki kepekaan berlebihan terhadap suara sehari-hari. Bunyi yang bagi kebanyakan orang terdengar normal, seperti suara air mengalir, mesin kendaraan, atau bahkan percakapan, dapat dirasakan sangat keras, tidak nyaman, bahkan menyakitkan bagi penderita kondisi ini.


Sensitivitas yang berlebihan ini bisa mengganggu kualitas hidup, menimbulkan kecemasan, stres emosional, hingga mendorong seseorang menarik diri dari lingkungan sosial.


Tidak seperti gangguan pendengaran biasa yang umumnya ditandai dengan penurunan kemampuan mendengar, hyperacusis justru melibatkan perubahan pada cara otak memproses suara. Mekanisme saraf pusat yang seharusnya menyeimbangkan persepsi bunyi justru membuat suara menjadi berlebihan dan sulit ditoleransi.


Mekanisme Gangguan pada Proses Auditori


Secara fisiologis, hyperacusis berawal dari gangguan regulasi di jalur pendengaran pusat. Meskipun telinga dapat menangkap getaran suara dengan normal, otak memperkuat sinyal tersebut sehingga menimbulkan persepsi berlebihan terhadap kerasnya bunyi. Disfungsi otot telinga tengah, yakni stapedius dan tensor tympani juga diduga berperan karena gagal meredam hantaran suara sebagaimana mestinya. Hal ini membuat telinga seolah kehilangan kemampuan alami untuk melindungi diri dari kebisingan sehari-hari.


Gejala dan Dampak pada Kehidupan


Tanda-tanda hyperacusis sangat beragam. Beberapa penderita mengalami intoleransi terhadap suara sederhana, seperti peralatan rumah tangga, deru mesin kendaraan, atau bahkan suara obrolan santai. Ada yang merasakan nyeri pada telinga ketika mendengar bunyi tertentu, sementara sebagian lainnya berkembang menjadi phonophobia, ketakutan berlebih terhadap suara yang mendorong mereka menghindari interaksi sosial. Kondisi ini bisa menimbulkan rasa terasing, menurunkan produktivitas, serta mengganggu keseimbangan emosi.


Penyebab dan Faktor Risiko


Hyperacusis bukanlah kondisi tunggal yang muncul begitu saja. Ada banyak penyebab dan faktor risiko yang dapat memicunya, antara lain:


- Cedera kepala atau trauma yang memengaruhi jalur pendengaran pusat.


- Infeksi virus atau gangguan saraf wajah seperti Bell’s palsy.


- Paparan suara keras secara tiba-tiba atau berkepanjangan pada lingkungan bising.


- Gangguan sendi temporomandibular (TMJ) yang mengacaukan refleks auditori.


- Penyakit autoimun dan kondisi sistemik seperti penyakit Lyme atau Meniere.


- Tekanan psikologis serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD).


Pendekatan Diagnosis


Untuk menegakkan diagnosis, dokter biasanya melakukan wawancara medis mendalam terkait pola intoleransi suara dan kondisi penyerta. Evaluasi audiologis, termasuk tes loudness discomfort level (LDL), sangat membantu mengukur ambang toleransi suara. Pada beberapa kasus, pemeriksaan pencitraan atau evaluasi neurologis juga dibutuhkan guna menyingkirkan kemungkinan kelainan pada otak. Penting pula membedakan hyperacusis dari gangguan lain yang melibatkan kepekaan sensorik atau masalah psikiatri agar penanganan lebih tepat sasaran.


Strategi Penanganan dan Terapi Modern


Hingga saat ini, belum ada terapi tunggal yang sepenuhnya menyembuhkan hyperacusis. Namun, kombinasi pendekatan medis, psikologis, dan rehabilitasi terbukti membantu mengurangi gejala. Beberapa strategi yang umum diterapkan antara lain:


- Terapi suara: Menggunakan paparan bunyi lembut secara bertahap untuk melatih ulang jalur pendengaran sehingga otak terbiasa dan tidak lagi bereaksi berlebihan.


- Terapi perilaku kognitif (CBT): Membantu penderita mengatasi kecemasan, stres, dan ketakutan terhadap suara.


- Pengobatan penyakit penyerta: Seperti menangani gangguan TMJ, penyakit autoimun, atau kondisi neurologis lain yang berkontribusi terhadap gejala.


- Penggunaan pelindung telinga secara bijak: Alat ini memang dapat membantu, tetapi penggunaan berlebihan justru bisa memperparah sensitivitas karena telinga semakin jarang terpapar suara normal.


- Obat-obatan pendukung: Kadang digunakan untuk menenangkan sistem saraf dan mengurangi gejala tambahan seperti kecemasan atau nyeri.


Seorang ahli THT berpengalaman, Dr. Michael H. Smith, menegaskan bahwa pemahaman mengenai hyperacusis harus melibatkan interaksi kompleks antara otak dan telinga. Menurutnya, "Perawatan harus disesuaikan dengan profil neurologis dan psikologis masing-masing pasien agar hasilnya signifikan."


Sementara itu, Dr. Caroline J. Davies, seorang neurolog yang mendalami gangguan pendengaran, menambahkan: "Penelitian terbaru tentang jalur pemrosesan auditori membuka jalan bagi terapi inovatif berbasis neuroplastisitas. Pendekatan ini menjanjikan harapan baru bagi penderita hyperacusis dengan gejala berat."


Hyperacusis adalah kondisi multifaktorial yang tidak hanya berdampak pada telinga, tetapi juga emosi, psikologi, dan kualitas hidup secara menyeluruh. Meski penyebabnya beragam, mulai dari trauma neurologis hingga penyakit sistemik, penanganan yang tepat dapat membantu penderita beradaptasi. Dengan kemajuan riset mengenai neuroplastisitas dan modulasi sensorik, masa depan pengobatan hyperacusis tampak lebih menjanjikan.