Buta warna, atau yang lebih dikenal dalam dunia medis sebagai color vision deficiency (CVD), merupakan kondisi di mana seseorang kesulitan membedakan warna tertentu, terutama antara merah dan hijau. Meskipun kelihatannya ringan dan tidak membahayakan secara fisik, kondisi ini ternyata berakar pada variasi genetik yang cukup kompleks.
Berkat kemajuan dalam bidang genetika molekuler dan ilmu mata, kini kita memahami bahwa buta warna bukan sekadar kekeliruan visual, melainkan gangguan yang erat kaitannya dengan pewarisan genetik, khususnya gen yang terdapat pada kromosom X.
Pewarisan X-Linked: Kunci Utama Mekanisme Genetik
Jenis buta warna yang paling umum diwariskan melalui pola resesif pada kromosom X. Gen OPN1LW dan OPN1MW yang mengatur produksi pigmen fotoreseptor untuk mendeteksi cahaya panjang (merah) dan sedang (hijau), terletak pada lokus Xq28 di kromosom X. Jika terjadi mutasi, penghapusan, atau penggabungan ulang gen pada wilayah ini, maka produksi pigmen di sel kerucut mata akan terganggu. Akibatnya, muncullah kondisi protanopia (kekurangan persepsi merah) atau deuteranopia (kekurangan persepsi hijau).
Laki-laki, yang hanya memiliki satu kromosom X, akan langsung mengalami buta warna jika gen yang dimilikinya rusak. Sebaliknya, perempuan yang memiliki dua kromosom X perlu mengalami mutasi pada kedua salinan gen tersebut agar menampilkan gejala. Inilah sebabnya perempuan lebih sering menjadi pembawa sifat (carrier) daripada mengalami gangguan secara langsung.
Kompleksitas Genetik: Mutasi Bervariasi dan Gen Hibrid
Tidak semua kasus buta warna terjadi karena penghapusan gen secara langsung. Ada juga kasus yang melibatkan gen hibrid, yakni gen campuran yang terbentuk akibat peristiwa crossover yang tidak seimbang saat meiosis. Gen hibrid ini dapat menghasilkan pigmen dengan sensitivitas spektral yang abnormal, dan menyebabkan bentuk buta warna yang lebih ringan seperti anomalous trichromacy, di mana seseorang masih dapat membedakan warna namun dengan tingkat akurasi yang rendah.
Penelitian terbaru yang memanfaatkan teknologi sekuensing gen dan analisis ekspresi menunjukkan bahwa variasi dalam jumlah dan struktur gen opsin bisa sangat beragam. Menariknya, bahkan perempuan pembawa sifat pun bisa menunjukkan gangguan penglihatan ringan yang sebelumnya tidak terdeteksi.
Varian Langka: Buta Warna yang Tidak Terkait Kromosom X
Meskipun sebagian besar kasus buta warna diwariskan melalui kromosom X, ada juga jenis langka yang diwariskan melalui kromosom autosom, baik dalam pola resesif maupun dominan. Contohnya adalah tritanopia atau tritanomali, kondisi yang menyebabkan kesulitan membedakan warna biru dan kuning. Kelainan ini terjadi akibat mutasi pada gen OPN1SW yang berada di kromosom 7, gen yang berfungsi dalam pembentukan pigmen untuk sel kerucut sensitif terhadap cahaya biru.
Bentuk ini sangat jarang dan biasanya melibatkan gangguan struktural maupun fungsional pada sel kerucut biru. Sebuah studi yang diterbitkan dalam JAMA Ophthalmology tahun 2023 oleh Dr. Isabelle Roth dan timnya berhasil mengidentifikasi beberapa polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) baru yang terkait dengan kelainan ini, membuka pemahaman baru tentang spektrum genetik buta warna yang lebih luas.
Terobosan Masa Depan: Terapi Gen untuk Mengatasi Buta Warna
Meski belum ditemukan pengobatan yang benar-benar menyembuhkan, perkembangan dalam terapi gen mulai membuka harapan baru. Salah satu pendekatan yang tengah dikembangkan adalah penggunaan virus adeno-terkait (AAV) untuk menyisipkan salinan gen opsin yang berfungsi normal ke dalam retina. Uji coba pada hewan seperti monyet tupai yang mengalami kekurangan warna merah-hijau menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.
Laporan terbaru dari International Journal of Medical Genetics tahun 2024 mengabarkan bahwa uji klinis tahap awal pada manusia telah dimulai untuk mengevaluasi keamanan pendekatan ini. Hasil awalnya menunjukkan adanya potensi peningkatan fungsi visual, meskipun masih diperlukan studi lebih lanjut.
Buta warna sering kali dianggap sebagai gangguan kecil yang hanya menyulitkan dalam memilih pakaian atau membaca peta. Namun kenyataannya, kondisi ini memiliki akar biologis yang rumit, mencakup berbagai pola pewarisan, lokasi gen, dan variasi mutasi. Pemahaman mendalam terhadap struktur genomnya tidak hanya memperbaiki akurasi diagnosis, tetapi juga membuka pintu menuju terapi yang ditargetkan secara spesifik.